Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA
(Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah)
Assalamu’alaikum wrwb. Sahabatku, alhamdulillah wa al-syukru liLlah, kita bangun dalam sehat afiat atas karunia dan nikmat Allah. Shalawat dan salam kita menyertai shalawat Allah dan Malaikat pada Nabi saw. Kita nantikan syafaat beliau nanti di akhirat.
Saudaraku, manusia diciptakan di dunia ini tujuannya untuk ibadah (QS. Al-Dzariyat:56).
Apakah kita sempat renungkan untuk berfikir tentang mengapa Allah menciptakan dan melahirkan kita di dunia ini?
Allah memberi modal dasar pada kita akal dan hati, agar kita mampu berfikir dan merasakannya dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahhatian (tawadlu’ dan tadlarru’).
Al-Qur’an menyebut يتفكرون “agar kita berfikir” dalam setidaknya 10 kali (QS. Al-A’raf: 176, Yunus: 24, Al-Ra’d: 3, al-Nahl: 11, 44, 69, Al-Rum: 21, Al-Zumar: 42, Al-Jatsiyah: 13, dan Al-Hasyr: 21) dalam bentuk kata kerja sedang atau akan datang (فعل مضارع). Ini menunjukkan maksud supaya manusia berfikir secara terus menerus dan berkelanjutan (استمرار التجدد).
Ayat-ayat di atas, singkatnya manusia supaya memikirkan tentang: 1. Kehidupan dunia ini apa tujuannya; 2. Allah menciptakan bumi ada siabg dan malam, ditumbuhkan tanaman dan buah-buahan untuk dimakan, 3. Buah-buahan dengan berbagai macamnya; 4. Allah menurunkan wahyu dan kitab suci sebagai pedoman untuk brribadah; 5. Manusia diciptakan berpasangan, supaya berkeluarga dan mendapatkan kebahagiaan sakinah mawaddah wa rahmah atau سكينة مودة ورحمة. 6. Manusia diciptakan dati tidak ada menjadi ada, dan akhirnya mati dan akan sihisiokan lagi. 7. Allah menundukkan langit dan bumi untuk manusia. 8. Seandainya Al-Qur’an diturunkan pada gunung, sungguh gunung akan menundukkan diri secara khusyu’ karena takut kepada Allah.
Tujuannya agar manusia menangkap pesan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Mencipta, Maha Esa, dan Maha dalam segala hal. Dengan demikian, tidak memberi ruang sekecil apapun untuk membanggakan dan menyombongkan diri sendiri (سمعة dan تكبر) dalam diri kita. Hanya Allah saja yang pantas untuk sombong, namun itu pun Allah sering menggunakan kata Kami bukan Aku, seperti QS. Al-Nahl: 44, Al-Hasyr: 21.
Dengan fikir manusia juga dapat memahami dengan baik apa yang dikatakan, dikerjakan, dan dihayati dan diamalkan. Mengagumi diri sendiri dan sombong itu, adalah awal kesyirikan, na’udzu biLlah. Karena itu, semestinya, seseorang bertambah ilmu bertambah taat dan tawadlu’nya atau rendah hatinya.
Untuk membangun diri kita agar terhindar dari sikap sombong dan mengagumi diri sendiri, perlu disertai dengan senantiasa berdzikir mengingat Allah yang selalu hadir dalam diri kita.
Seruan agar manusia berdzikir dalam bentuk kata kerja sedang dan akan datang (فعل مضارع) disebut dalam QS. Al-Baqarah: 221, Ibrahim: 25, Al-Qashash: 43, 46, 51, Al-Zumar: 27, dan Al-Dukhan: 58).
Kadang juga disebut indikator orang-orang yang cerdas (اولو الالباب) adalah orang-orang yang senantiasa berdzikir mengingat Allah dalam berbagai keadaan, berdiri, duduk, berbaring, dan berfikir tentang penciptaan langit dan bumi. Karena Allah tidak pernah menciptakan sesuatu pun yang sia-sia (QS. Ali ‘Imran:190-191). Kecerdasan adalah perpaduan harmonis antara akal dan hati, antara akal manusia dan kehadiran hidayah dan inayah Allah, yang pasti akan menumbuhkan dan menghasilkan ketenangan (طماءنينة). Inilah pesan penting keseimbangan antara fikir dan dzikir (QS. Al-Ra’d: 28).
Saudaraku yang dicintai Allah, mumpung kita masih diberi umur panjang sehat afiat, mari kita manfaatkan akal kita untuk berfikir, dari mana kita diciptakan, untuk apa kita hidup, dan akan menuju ke mana? Agar kita mampu mengenal Allah, kita tingkatkan ibadah kita sebagai wasilah dzikir kita kepada Allah. Karena kita milik Allah, kita pasti akan kembali kepada-Nya. Semoga kita akan disambut oleh Allah dengan “senyuman” dan sambutan-Nya, dalam keadaan husnul khatimah. Amin.
Allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu’alaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 22/1/2017.
MUI Jateng