Oleh Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA
(Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah)
(Jum’at, 13 April 2018)
Assalamualaikum wrwb.
AlhamduliLlah wa sy-syukru liLlah. Mari kita ungkapkan puji dan syukur kita atas anugrah dan kasih sayang Allah. Hanya atas kasih sayang dan pertolongan Allah semata, saat ini kita dalam keadaan sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Mari kita niatkan semua aktifitas kita untuk beribadah kepada Allah, semoga hidup kita ini menjadi lebih bermakna. Hidup kita insyaa Allah menjadi tenteram dan bahagia, dan di akhirat nanti kita bahagia dan sejahtera see.
Shalawat dan salam mari kita terus lantunkan pada baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang terus istiqamah dan komitmen meneladani beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan di akhirat kelak kita akan mendapat syafaat beliau.
Mari kita jadikan momentum khutbah ini sebagai renungan dan shalat jumat yang akan kita laksanakan saebagai upaya kita menjaga, merawat, memupuk iman dan taqwa kita, agar hidup kita bahagia di dunia dan kalau sewaktu-waktu memanggil kita untuk menghadap kepada-Nya, kita memiliki cukup bekal. Karena sebaik-baik bekal yang kita bawa nanti adalah taqwa kita kepada-Nya.
Saudaraku, atas pertolongan dan kehendak Allah, kita berada di tanggal 27 Rajab, meskipun ada yang menulis tanggal merahnya besok. Bulan agung, karena bulan ini kata Rasulullah adalah bulan Allah yang dimuliakan. Kata Rasulullah saw:
رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Famadlan adalah bukan umatku”.
ويسمّى شهر رجب بالأصبّ لأنّه تصبّ فيه الرحمة والمغفرة من الله سبحانه وتعالى إلى العباد، ويسمّى بالأصمّ أيضاً لعدم سماع صوت القتال وقعقعة السلاح فيه، ولم تكن العرب تغزو فيه ولا ترى الحرب وسفك الدماء. وإنّما سمّيت الأشهر الحرم لأنّ أهل الجاهلية كانوا يحرّمون فيها القتال تعظيماً لها فلمّا جاء الإسلام لم يزدها إلاّ حرمة وتعظيماً
Bulan Rajab disebut juga dengan bulan tumpah. Karena di dalamnya ditumpahkan kasih sayang dan ampunan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Disebut juga bukan Rajab sebagai bulan tuli, karena tidak terdengar suara peperangan dan gemerincingnya pedang di dalamnya. Tidak ada peperangan di dalamnya dan pertumpahan darah. Bulan Rajab disebut sebagai bulan haram karena orang-orang Jahiliyah waktu itu mengharamkan peperangan guna memuliakan bulan Rajab. Dan ketika Islam datang, tidak bertambah-tambah kecuali memuliakan dan menghormatinya.
Sudah barang tentu, hanya orang yang hati, fikiran, dan perasaannya cerdas dan mampu memahmai dan merasakannya. Tetapi bagi orang-orang yang sudah tertutup dan dipenuhi kabut dan awan gelap yang menghalangi sampainya sebuah kebenaran, maka hati dan fikirannya juga akan berada dalam kegelapan dan menyelimuti kegelapan bagi orang lain.
فإنّ من عرف حرمة رجب وشعبان، ووصلهما بشهر رمضان شهر الله الأعظم، شهدت له هذه الشهور يوم القيامة، وكان رجب وشعبان وشهر رمضان، شهوده بتعظيمه لها، وينادي منادٍ: يارجب وشعبان وشهر رمضان، كيف عمل هذا العبد فيكم كان في طاعة الله؟ فيقول رجب وشعبان وشهر رمضان: ياربّنا، ما تزوّد منّا إلاّ استعانة على طاعتك، واستعداداً لمواد فضلك
“Orang yang mengetahui dan memahami kemuliaan bulan Rajab dan Sya’ban, dan ia sampai pada bulan Ramadlan, bulan Allah yang mulia, maka ia akan menyaksikan “bulan-bulan tersebut di hari kiamat. Bulan Raja, Sya’ban, dan Ramadlan, memberikan kesaksiannya. Seseorang memanggil, wahai bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadlan, bagaimana amal perbuatan seorang hamba ini apakah dia dalam ketaatan kepada Allah? Maka bukan Rajab, Sya’ban, dan Ramadlan pun menjawab: “Wahai Allah Tuhan kami, tidak bertambah dari kami, kecuali memohon pertolongan untuk mentaati-Mu, dan bersiap-siap untuk menggelar mempersiapkan keutamaan-Mu”.
Bulan Rajab adalah bulan diperjalankannya di waktu malam yang disebut dengan Isra’ dari Masjidil Haram Mekah menuju Masjidil Aqsha Palestina, untuk selanjutnya dimikrajkan (dinaikkan) melewati langit pertama hingga langit tujuh. Setelah itu, beliau dinaikkan tanpa pendampingan malaikat Jibril, ke Sidratul Muntaha untuk menerima wahyu atau perintah shalat fardlu.
Saudaraku, perintah shalat adalah untuk membersihkan diri kita dan menghapus dosa-dosa kita, yang boleh dikatakan nyaris tidak mampu menghindari berbagai macam dosa yang mengotori diri, hati, dan fikiran kita. Karena dengan shalat, seharusnya shalat kita mampu mencegah diri kita, untuk tidak mau lagi melaksanakan perbuatan maksiyat dan pembangkangan terhadap rambu-rambu dan hukum Allah.
Rasulullah saw bersabda:
يقول الله سبحانه ( وأَقِمِ الصَّلاةَ إنَّ الصلاة تَنَهَى عَن الفَحْشَاء والمُنْكَر ) ( سورة العنكبوت: 45 )، والمعنى أن الصلاة إذا أُدِّيت تامة بأركانها وشروطها وبخشوعها قوَّت الإيمان بالله والخوف من معصيته
Allah SWT berfirman : “Dan dirikanlah shalat sesungguhnya shalat itu mencegah dari berbuat keji dan munkar” (QS. Al-Ankabut:45). Artinya, apabila shalat itu dilaksanakan sempurna dengan rukun dan syaratnya dengan khusyuk, maka akan menguatkan iman kepada Allah dan dengan begitu akan takut apabila bermaksiyat kepada Allah”.
Apabila seseorang yang mengerjakan shalat dengan baik dan khusyu’, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan hidup dan keberuntungan yang tiada henti. Ia tidak akan akan berbuat maksiyat, tidak korupsi, dan melakukan kejahatan lagi. Sebagaimana penjelasan dan sekaligus janji Allah:
- Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
- (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,
- Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada guna,
- Dan orang-orang yang menunaikan zakat,
- Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
- Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka salam hal ini tiada tercela.
- Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
- Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
- Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya,
- Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
- (Yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mu’minun: 1-11).
Saudaraku, shalat adalah mikraj orang-orang yang beriman. Dalam mikraj, tidak ada lagi sekat atau birokrasi yang menghalangi seseorang untuk berdekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Mengakhiri khutbah ini, mari kita renungkan bersama bantahan kaum Nabi Syu’aib:
“Wahai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kamu agar melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal”.
Syu’aib berkata: “Hai kaumku bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rizki yang baik (patutkan aku menyalahi perintah-Nya). Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali” (QS. Hud: 87-88).
Semoga Allah senantiasa memberkahi kita, dapat menjalankan shalat kita dengan khusyu dan menjaganya hingga akhir hayat kita. Karena shalat adalah barometer ibadah kita, dan awal pertama ditanya di akhirat nanti. Sebagaimana Rasulullah saw sabdakan:
رَوى الطبرانِيُّ عن النبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنهُ قال: أَوَّل ما يُحَاسَبُ بهِ العبدُ يومَ القيامةِ الصلاة، فإنْ صَلحَتْ صَلحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وإِنْ فسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Allah a’lam bi sh-shawab.
MUI Jateng