Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA
(Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah)
Hamdan wa syukran liLlah. Puji dan syukur hanya milik Allah semata. Mari kita ungkapkan syukur kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya atas anugrah dan kasih sayang-Nya kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Kita niatkan sebagai ibadah sosial kita, supaya hidup kita lebih bermakna. Shalawat dan salam mari kita lantunkan untuk Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan pengikut yang ingin menjadi umat yang terbaik. Semoga semua urusan kita diberi kemudahan dan kelak di akhirat kita mendapat syafaat beliau.
Saudaraku, tahun 2018-2019 sering disebut tahun politik. Pilkada 177 termasuk 17 gubernur-wakil gubernur diprediksi menjadi penentu tahun 2019, yang akan digelar pemilu legislatif dan presiden. Suasana politik pun cenderung menghangat atau memanas. Kebetulan saya mendapat “amanat” dan “kehormatan” menjadi salah seorang panelis debat pertama cagub-cawagub Jawa Tengah, yang fokus pada isu kemiskinan, kependudukan, kesehatan, dan pengangguran. Memang tidak mengajukan pertanyaan secara langsung kepada pasangan calon, tetapi saya merasa “diuntungkan”, setidaknya “ketidaknyamanan” psikologis karena telah lama kenal dengan salah satu paslon, menjadi sirna, karena telah dilimpahkan kepada moderator atau host.
Pada tahun-tahun politik seperti ini, biasanya para Ulama – apalagi yang mempunyai santri, pengikut, dan jamaah yang besar – biasanya rame disowani atau menerima “silaturrahim politik” para pasangan calon. Kata “shahibul hikayah” persowanan politik demikian, juga berlaku “ketaatan sosial” layaknya para santri yang apabila seorang ulama tidak cermat dan tidak waspada, bisa saja berpotensi menjadi “sasaran money laundring”.
Apakah kalau santri sowan pada kyai atau ulamanya, juga mau dikatakan “money laundring”? Tentu jawabannya, pertanyaan yang terakhir ini, jelas tidak. Karena jika santri sowan, kemudian membawa oleh-oleh atau buah tangan, adalah sebagai bentuk dan ungkapan penghormatan santri kepada para guru, kyai, dan ulama yang sudah memberikan ilmunya, mengasuh, mendidik, dan membesarkannya dengan keilmuan dan doa keberkahan hidup baginya. Lalu bagaimana jika santri sudah menjadi pejabat politik, apakah legislatif, eksekutif, atau yudikatif? Silahkan Saudaraku yang menjawab. Kita tidak boleh suudhan atau berburuk sangka, karena suudhan tidak diperbolehkan oleh agama.
Ada pertanyaan penting di tengah “polarisasi” seakan-akan politik dan agama harus dipisahkan. Ada yang memasang backdrop atau spanduk di masjid, kemudian dibully oleh netizen, karena dianggap bisa merusak persatuan dan kerukunan. Akan tetapi di tempat ibadah lainnya, jistru dijadikan sebagai tempat untuk konsolidasi demi tujuan politik. Apakah ada panduan yang wrsifat syar’i dalam soal Ulama dan politik ini?
Para ulama pun tidak sepakat apakah agama – dalam hal ini Islam – adalah agama dan politik sekaligus atau “al-Islam huwa d-din wa d-daulah”. Melihat faktanya, masih banyak Ulama yang juga berpolitik praktis sekaligus, artinya ada seorang ulama yang juga memiliki pondok pesantren, santrinya juga puluhan ribu, bahkan hingga usia sangat sepuh masih “berkarir” di jalur politik. Kalau ditanya dasarnya apa, kira-kira jawabannya adalah bahwa politik atau siyasah adalah alat, instrumen, atau wasilah, untuk mengatur negara dan pemerintahan.
Jika paradigma pemikirannya demikian, maka dapat dipastikan jika tujuannya baik maka wasilah, instrumen, atau alat dengan berpolitik praktis itu wajib hukumnya. Para Ulama memformulasikan kaidah
“للوسائل حكم المقاصد”
artinya “bagi perantara (berlaku) hukum tujuan”. Ada juga kaidah
“ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب “
artinya “sesuatu yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu wajb hukumnya”.
Saudaraku, ada juga ulama yang berpolitik kerakyatan dan kebangsaan. Mereka ini cenderung menjaga jarak sama jauh sama dekat dengan para politisi, para pejabat, dan siapa saja. Tipologi ulama demikian, biasanya tamu yang melakuan “silaturrahim atau persowanan politik” lebih banyak katimbang Ulama yang sekaligus aktivis politik praktis. Meskipun sebenarnya “keuntungan secara langsung” yang diharap akan berpengaruh pada konstituen politisi yang bersangkutan, tetapi setidaknya ia bisa “memainkan” psikopolitik masyarakat untuk mengambang dan pada saat atau momentum yang menentukan mereka akan “menjatuhkan pilihan politiknya” kepada politisi yang “dekat” setidaknya dari gambar atau status di media sosialnya.
Ada model ulama yang sama sekali menjauhi urusan politik. Apalagi di usia-usia mendekati udzur, ia konsentrasikan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Mengatur dunia ini. Tentu ini boleh jadi bagian kecil. Ada juga para Ulama berhimpun dalam organisasi tarekat, akan tetapi langkah-langkahnya sering dekat dengan kekuasaan, bahkan nampak “bergandengan tangan dengan mesra”, dan ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang tidak mudah ditafsirkan secara benar.
Kita semua tidak mudah menafsirkan dan memahami. Apabila kita kembali kepada sosok dan keteladanan Rasulullah Muhammad saw, beliau itu oleh Montgomery Watt, disebut sebagai “the prophet and statesmen” artinya “Nabi dan Negarawan”. Ini karena pada sosok Nabi Munammad Rasulullah saw tersebut, menjadi tugas Nabi dan kepala negara Madinah waktu itu. Dengan kata lain, Islam itu adalah agama dan kekuasaan. Tanpa ada dukungan kekuasaan, kiranya perjalanan dakwah yang selama 12 tahun di Mekah mengalami “stagnasi” baru kemudian setelah hijrah ke Yatsrib, yang beliau gangi nama Madinah, dalam waktu 10 tahun, seluruh semenanjung Arabia bisa dikuasai.
Mengakhiri renungan ini, bagaimana sebaiknya kita memposisikan diri, tergantung posisi kita masing-masing. Kita berharap para Ulama dapat memposisikan diri mereka sebagai panutan masyarakat. Karena para Ulama adalah ahli waris para Nabi. Kata Rasulullah saw, Ulama dan Umara sama-sama mempunyai posisi sangat penting di hadapan masyarakat. Apabila keduanya baik, maka masyarakat juga akan baik, akan tetapi jika keduanya tidak baik, rusak, bobrok, maka masyarakat juga akan ikut tidak baik, rusak, dan bobrok. Ini yang dimaksud :
صنفان من الناس اذا صلحا صلح الناس واذا فسدا فسد الناس العلماء والامراء وفي رواية اخرى الفقهاء والامراء
Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan pada kita semua, bahwa kehidupan dunia ini adalah permainan, karena itu kita perlu waspada.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖكَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖوَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚوَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al-Hadid:20).
Yang jelas politisi haruslah orang-orang yang baik, berintegritas, dan dapat menjadi “imam yang baik”, karena ialah imam yang akan memimpin, memperhatikan, dan membawa rakyatnya ke mana akan diarahkan, apakah akan mencapai kemakmuran dan keadilan, atau penderitaan dan kedzaliman. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang peduli, mengabdi, dan bekerja untuk kebaikan rakyatnya dan kebahagiaan dunia akhirat.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Bandara Internasional Juanda Surabaya, 25/4/2018.
MUI Jateng